Jubah Toga dan Aritmetika Tuan Rektor

 

Jubah Toga dan Aritmetika Tuan Rektor

Oleh: Luthfi Azizan

Jubah toga itu bukan sekadar kain hitam muram yang kita kenakan di hari wisuda, di bawah terik matahari dan blitz kamera yang menyilaukan. Bukan. Jubah itu adalah tenunan suci dari doa-doa ibu di sepertiga malam, dari keringat ayah di ladang atau di bengkel yang pengap. Ia adalah simbol martabat yang diperjuangkan habis-habisan, penanda bahwa akal budi telah diasah, bahwa seorang manusia telah (seharusnya) paripurna menjadi manusia.

Pendidikan, dalam napasnya yang paling purba, adalah sebuah mimbar luhur. Sakral. Ia tempat di mana kemanusiaan dirayakan, di mana pertanyaan-pertanyaan besar tentang hidup dikuliti, di mana nurani dibentuk. Ia bukan pasar.

Namun, apa lacur, jika di balik kemegahan jubah-jubah kehormatan itu, yang terdengar nyaring kini bukanlah simfoni kebijaksanaan, melainkan derik dingin kalkulator? Inilah ironi paling getir di menara gading kami: keluhuran jubah telah ditundukkan, dipaksa bersujud, oleh aritmetika beku para "Tuan Rektor".

Di dalam ruangan berpendingin udara yang kedap suara, Tuan-Tuan itu duduk dengan agenda yang rapi. Bagi mereka, mahasiswa—kami ini—bukan lagi insan yang menggenggam mimpi. Kami telah berubah wujud menjadi unit-unit pembawa laba, menjadi kolom-kolom angka dalam spreadsheet yang harus diseimbangkan di akhir tahun anggaran.

Kebijakan-kebijakan baru yang turun laksana titah raja, yang seringkali terasa sewenang-wenang itu, adalah wujud nyata dari aritmetika yang telah mengalahkan nurani. Pendidikan telah mereka sulap menjadi tabel spekulatif, seperti seorang pialang saham yang berjudi di bursa. Ini bukan lagi soal mencerdaskan kehidupan bangsa; ini soal untung dan rugi. Mereka lupa, atau sengaja lupa, bahwa setiap angka yang mereka coret dengan pena mahal itu adalah nasib seorang anak manusia. Satu angka berarti satu mimpi yang mungkin harus dikubur, satu harapan keluarga yang mungkin padam.

Padahal, visi pendidikan yang luhur menuntut kebijakan yang berfondasi pada asas kemaslahatan, pada welas asih. Pendidikan sejati, seperti yang dibayangkan para pendiri republik ini di gubuk-gubuk perjuangan, adalah soal memanusiakan manusia. Ia adalah investasi peradaban, bukan investasi modal yang harus segera kembali modal.

Tapi hari ini, "kemaslahatan" tampaknya hanya berlaku jika "neraca keuangan" kampus tersenyum sejahtera. Jika neraca itu murung, kemaslahatan mahasiswa adalah yang pertama dikorbankan.

Sesungguhnya, mereka yang benar-benar memahami visi pendidikan, mereka yang jiwanya masih seorang guru, tidak akan pernah tega bersikap sewenang-wenang. Kesewenang-wenangan adalah tanda paling jelas bahwa hati mereka telah beralih. Mereka bukan lagi pendidik; mereka telah menjadi pedagang.

Inilah pengkhianatan terbesar. Puncak dari pendidikan adalah nilai kemanusiaan itu sendiri. Ketika kampus, sebagai rahim intelektual, justru bertindak semena-mena pada anak-anaknya sendiri, ia sedang meludahi wajahnya sendiri. Ia menjadi sebuah ironi kolosal: lembaga yang mengajarkan etika, logika, dan kemanusiaan, namun gagal total mempraktikkannya di depan gerbangnya sendiri.

Kami, Tuan, bukanlah angka-angka statistik. Kami bukan barisan debitor yang harus ditagih. Kami adalah detak jantung dari cita-cita luhur yang Anda pajang di dinding lobi rektorat itu. Jika pendidikan terus dihitung dengan untung-rugi, jangan kaget jika dari rahim kampus ini lahir generasi-generasi baru yang juga menghitung segala sesuatu dengan uang, bukan dengan nurani.

Jubah toga ini adalah simbol kehormatan yang kami bayar dengan perjuangan, bukan properti yang bisa Anda hitung nilai penyusutannya.

Maka, hentikan aritmetika Anda, Tuan. Turunlah dari menara gading Anda. Dengarkan kami. Kembalikan keluhuran mimbar ini pada tempatnya, sebelum ia runtuh ditimpa beban keserakahan Anda sendiri.

 

ORDER VIA CHAT

Product : Jubah Toga dan Aritmetika Tuan Rektor

Price :

https://www.baitulkilmah.com/2025/11/jubah-toga-dan-aritmetika-tuan-rektor.html

ORDER VIA MARKETPLACE

Discussion