Dramaturgi Perut Lapar

Dramaturgi Perut Lapar


Oleh: Luthfi Azizan

    Pagi di negeri tropis selalu menawarkan ilusi ketenangan yang berbahaya. Matahari yang lembut, kasur kapuk yang memanggil-manggil, dan secangkir kopi panas di teras adalah panggung yang sempurna bagi kemalasan yang filosofis. Kita sering tergoda untuk berdiam, menunggu takdir mengirimkan paket rezeki via kurir.

    Namun, di lorong-lorong desa, di balik tembok-tembok yang retak, ada sebuah mantra Jawa yang tegas, tak kenal kompromi, dan lebih jujur daripada semua janji politikus: "Ora Obah, Ora Mamah."

    Artinya sederhana, bahkan sedikit brutal: Tidak Bergerak, Tidak Mengunyah.

    Frasa itu bukan sekadar pepatah, melainkan sebuah Dramaturgi Perut Lapar. Sebuah lakon hidup universal yang dipentaskan setiap hari, di mana perut kita adalah gong yang menandakan tirai harus dibuka, dan sendok adalah pedang yang harus diayunkan.


Yang Bergerak, Yang Mendapatkan Hak

    Filosofi ini adalah perlawanan kultural terhadap Fatalisme yang manis. Ia menampar pipi para pemimpi yang percaya bahwa rezeki adalah hujan yang akan turun dengan sendirinya tanpa harus menyiapkan gentong penampung.

    Ora Obah, Ora Mamah menegaskan: keberuntungan bukanlah penonton pasif yang duduk manis di tribun, melainkan aktor yang aktif mencari panggungnya sendiri.

    Gerak (Obah) di sini bukan sekadar mengayunkan cangkul, atau memindahkan pantat dari sofa ke kursi kantor. Ia adalah aksi holistik. Ia adalah gerak pikiran untuk menciptakan ide baru, gerak jari untuk mengetik proposal yang ditolak berulang kali, dan gerak keberanian untuk mencoba jalan yang tak pernah kita lalui.

    Lihatlah para guru Madrasah kita. Mereka bergerak melawan keterbatasan, bukan menunggu surat sakti dari dinas. Gerak mereka adalah seni bertahan hidup yang mulia, menolak untuk menjadi patung Moai yang diam menunggu mukjizat.

Baca Juga: Jubah Toga dan Aritmetika Tuan Rektor

Adegan Puncak: Kenikmatan Kunyahan yang Sah

    Maka, apa balasan dari segala Obah itu?

    Balasannya adalah Mamah—mengunyah, menikmati hasil.

  Dan kita harus jujur, makanan yang paling nikmat di dunia bukanlah hidangan mahal di restoran bintang lima, melainkan nasi angringan atau sepiring soto Mbah Kaum yang dibeli dengan uang hasil keringat sendiri.

   Filosofi Mamah mengajarkan kita tentang Kedaulatan Diri. Kepuasan yang dirasakan saat mengunyah kemenangan adalah kepuasan yang sah, yang tidak bisa dibeli dengan bantuan atau belas kasihan orang lain.

    Ini adalah kritik telak bagi budaya instan hari ini. Orang ingin kaya tanpa berkeringat. Ingin sukses tanpa bangun pagi. Mereka berharap Mamah jatuh dari langit saat mereka masih bergumul dengan selimut. Mereka lupa, piring yang kosong akan selalu protes dengan melodi keroncongan yang paling menyedihkan.

    Perut yang lapar adalah guru terhebat. Ia adalah pengingat bahwa kebahagiaan sejati—dan bahkan sekadar kelangsungan hidup—membutuhkan intervensi aktif dari kita sebagai manusianya.


Gong untuk Babak Baru

    Mantra Ora Obah, Ora Mamah adalah pelajaran sederhana dari desa, namun memiliki daya ledak filsafat yang abadi. Ia mengajari kita bahwa tidak ada yang namanya "Nasib Buruk" yang abadi, yang ada hanyalah kekurangan Gerak.

   Maka, ketika pagi menyapa dan perut mulai bergemuruh—jangan anggap itu sebagai kutukan. Anggaplah itu sebagai gong yang telah ditabuh.

   Itu adalah isyarat bahwa lakon hidup Anda harus segera dimulai. Bangunlah, bergeraklah, cari panggungmu, dan mainkan peranmu sebagai aktor utama yang gigih.

    Ambillah sendok itu, Kawan! Karena di antara Gerak dan Kunyahan yang sah, di situlah kemuliaan hidup dan harga diri sejati ditemukan, insyaallah.


Subang, 21 November 2025

ORDER VIA CHAT

Product : Dramaturgi Perut Lapar

Price :

https://www.baitulkilmah.com/2025/11/dramaturgi-perut-lapar.html

ORDER VIA MARKETPLACE

Discussion